Sampai 4 hari yang lalu saya sendiri termasuk orang yang tidak tahu. Tapi kemudian perjalanan bersama komunitas Aleut memberi pencerahan tentang asal-usul tanah tempat saya berdiri hari ini. Berkumpul di depan gedung Asia Afrika kami bersiap menuju tempat tujuan NgAleut edisi Senang-Senang (padahal edisi pegal-pegal). Ternyata tujuan NgAleut yang sempat dirahasiakan dan cukup membuat banyak orang penasaran adalah sungai Citarum di daerah PLTA Saguling. Mobil yang mengangkut kami melaju dengan kecepatan sedang menyusuri wilayah Padalarang. Berhenti sejenak disebuah warung nasi untuk membeli nasi bungkus yang menjadi sumber energi terakhir kami sebelum menyusuri Citarum.
Meneruskan perjalanan menuju Rajamandala, kami melewati deretan tagog-apu (perbukitan kapur) yang sebagian besar sudah habis dikeruk para penambang. Ketika melewati wilayah bukit kapur yang luas, Bang Ridwan bercerita bahwa jutaan tahun lalu tempat ini adalah sebuah lautan dangkal. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil hewan laut dan terumbu karang di perbukitan batu kapur.
Memasuki wilayah PLTA Saguling kami langsung menuju Sanghyang Tikoro, yaitu sebuah gua yang dilewati aliran sungai Citarum. Sebenarnya saya tidak asing dengan nama ini karena dulu pernah mengunjungi kantor PLTA Saguling yang ada di sebelah Sanghyang Tikoro. Tapi Satu-satunya yang saya ingat dari Sanghyang Tikoro adalah bau belerang yang cukup menyengat. Cerita dibalik Sanghyang Tikoro sendiri baru saya tau dari hasil NgAleut ini. Sanghyang Berarti Dewa dan Tikoro berarti Tenggorokan. Jika dilihat dari bentuknya, gua ini memang mirip dengan mulut manusia yang sedang menganga.
Tapi sayangnya keindahan tersebut dirusak oleh tangan-tangan vandalisme manusia-manusia labil. Pada dinding-dinding gua terdapat banyak coretan-coretan tidak bermakna. Untung ngga nemu tulisan Aleutian were here.
Tapi semua kelelahan terbayar ketika kami sampai pada tujuan akhir. Genangan air tenang yang bersih dan sangat indah dikelilingi pohon-pohon dan batuan besar.The hidden treasure. Bang Ridwan menjulukinya The Bi*** (pake t,c,h katanya
). Satu persatu Aleutian mulai turun ke dalam air dan berenang-renang dengan bahagianya. Kesegaran air yang bersih dan sorot mata bahagia teman-teman yang lain sukses menggoda saya untuk ikut turun ke air. And here we are swimming on the Bi*ch together..
Selesai menyelami jejak citarum purba kami kembali begegas untuk pulang. Kesegaran air Citarum cukup membantu memulihkan stamina. Sampai di depan kantor PLTA Saguling kami memasuki mobil dan melewati Sanghyang Tikoro. Kembali tercium bau belerang yang sangat menyengat. Selama bertahun-tahun saya menyangka kalau disana memang terdapat kawah belerang.
Tetapi kemudian salah satu pegiat Aleut mengatakan bahwa bau tersebut adalah bau limbah yang mencemari Citarum. Informasi yang cukup mengagetkan buat saya. Saya tidak bisa membayangkan limbah semacam apa dan sebanyak apa yang mampu menghasilkan bau belerang yang sangat menyengat seperti itu.
Lagi-lagi, selalu menyedihkan ketika harus menyaksikan keindahan arus sungai rusak oleh arus modernisasi
http://aleut.wordpress.com/2011/11/01/1231/
0 comments:
Posting Komentar