September 04, 2012
0
Menyelami Jejak Citarum Purba. Kenyataan bahwa Kota Bandung adalah sebuah wilayah yang bebentuk cekungan mungkin sudah diketahui banyak orang. Cerita bahwa ribuan tahun lalu cekungan tersebut seluruhnya berisi air dan merupakan Danau Bandung Purba rasanya juga sudah banyak orang yang tahu. Minimal dari cerita legenda Sangkuriang. Tapi berapa banyak orang yang tahu bagaimana danau raksasa tersebut kemudian menjadi surut hingga memungkinkan kita berpijak di dasarnya sampai hari ini?


Sampai 4 hari yang lalu saya sendiri termasuk orang yang tidak tahu. Tapi kemudian perjalanan bersama komunitas Aleut memberi pencerahan tentang asal-usul tanah tempat saya berdiri hari ini. Berkumpul di depan gedung Asia Afrika kami bersiap menuju tempat tujuan NgAleut edisi Senang-Senang (padahal edisi pegal-pegal). Ternyata tujuan NgAleut yang sempat dirahasiakan dan cukup membuat banyak orang penasaran adalah sungai Citarum di daerah PLTA Saguling. Mobil yang mengangkut kami melaju dengan kecepatan sedang menyusuri wilayah Padalarang. Berhenti sejenak disebuah warung nasi untuk membeli nasi bungkus yang menjadi sumber energi terakhir kami sebelum menyusuri Citarum.

Meneruskan perjalanan menuju Rajamandala, kami melewati deretan tagog-apu (perbukitan kapur) yang sebagian besar sudah habis dikeruk para penambang. Ketika melewati wilayah bukit kapur yang luas, Bang Ridwan bercerita bahwa jutaan tahun lalu tempat ini adalah sebuah lautan dangkal. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil hewan laut dan terumbu karang di perbukitan batu kapur.

Beberapa saat kemudian Bang Ridwan menunjuk satu tempat yang merupakan lokasi Gua Pawon. Katanya gua tersebut dulunya merupakan tempat tinggal manusia purba karena pernah ditemukan artefak dan fosil manusia. Sekarang Gua Pawon menjadi tempat wisata dan dilindungi pemerintah daerah. Tetapi sayangnya wilayah sekitarnya tidak dilindungi dan menjadi pemukiman warga. Padahal jika dilakukan penelitian lebih lanjut ada kemungkinan di wilayah sekitarnya juga ditemukan fosil-fosil bersejarah.

Memasuki wilayah PLTA Saguling kami langsung menuju Sanghyang Tikoro, yaitu sebuah gua yang dilewati aliran sungai Citarum. Sebenarnya saya tidak asing dengan nama ini karena dulu pernah mengunjungi kantor PLTA Saguling yang ada di sebelah Sanghyang Tikoro. Tapi Satu-satunya yang saya ingat dari Sanghyang Tikoro adalah bau belerang yang cukup menyengat. Cerita dibalik Sanghyang Tikoro sendiri baru saya tau dari hasil NgAleut ini. Sanghyang Berarti Dewa dan Tikoro berarti Tenggorokan. Jika dilihat dari bentuknya, gua ini memang mirip dengan mulut manusia yang sedang menganga.

Gua ini sempat dihubung-hubungkan dengan cerita bobolnya Danau Bandung Purba. Jadi ternyata Danau Bandung Purba menjadi surut karena terjadi kebocoran. Banyak orang percaya bahwa Sanghyang Tikoro ini tempat bobolnya Danau Bandung Purba. Tapi menurut Bang Ridwan kebocoran Danau Bandung Purba sebenarnya terjadi akibat timbulnya celah antara Pasir Kiara dan pasir Larang. Mitos yang berkembang mengenai Sanghyang tikoro ini apabila ada sesuatu yang masuk kedalamnya, bahkan jika hanya sebatang lidi, maka akan terdengar suara rintihan wanita yang kesakitan, dan Bandung akan kembali tergenang oleh air seperti zaman Sangkuriang. Mitos yang terdengar mengerikan dan tampaknya cukup sukses membuat manusia takut memasuki Sanghyang Tikoro. Tapi mungkin mitos ini mengandung makna agar manusia jangan membuang apapun kesungai bahkan hanya sebatang lidi pun. Karena jika sampah banyak menumpuk disungai maka akan menyebabkan banjir. Begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan nenek moyang kita ya teman-teman.

Selesai melihat Sanghyang Tikoro, kami berjalan menuju Gua purba lainnya yaitu Sanghyang Poek untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda. Sanghyang Poek adalah gua yang sangat indah dengan batuan besar yang menjulang.

Tapi sayangnya keindahan tersebut dirusak oleh tangan-tangan vandalisme manusia-manusia labil. Pada dinding-dinding gua terdapat banyak coretan-coretan tidak bermakna. Untung ngga nemu tulisan Aleutian were here.

Setelah hujan reda, perjalanan panjang menyusuri jejak citarum purba pun dimulai. Aliran sungai sebenarnya relatif kecil karena hulu sungai Citarum purba ini sudah dibendung oleh PLTA Saguling. Tapi batu-batu yang sangat besar dan terjal cukup menyulitkan perjalanan. Ditambah kondisi batu yang licin akibat guyuran hujan. Saya yang awalnya berjalan tegak, lama kelamaan lebih banyak ngesot pake tangan dan kaki untuk melewati batu-batu yang besar dan licin. Perjalanan yang sulit dan melelahkan apalagi sambil membayangkan bahwa kami harus menyusuri jalan yang sama ketika pulang nanti cukup bikin pengen nyerah aja.

Tapi semua kelelahan terbayar ketika kami sampai pada tujuan akhir. Genangan air tenang yang bersih dan sangat indah dikelilingi pohon-pohon dan batuan besar.The hidden treasure. Bang Ridwan menjulukinya The Bi*** (pake t,c,h katanya :D ). Satu persatu Aleutian mulai turun ke dalam air dan berenang-renang dengan bahagianya. Kesegaran air yang bersih dan sorot mata bahagia teman-teman yang lain sukses menggoda saya untuk ikut turun ke air. And here we are swimming on the Bi*ch together..
 
Selesai menyelami jejak citarum purba kami kembali begegas untuk pulang. Kesegaran air Citarum cukup membantu memulihkan stamina. Sampai di depan kantor PLTA Saguling kami memasuki mobil dan melewati Sanghyang Tikoro. Kembali tercium bau belerang yang sangat menyengat. Selama bertahun-tahun saya menyangka kalau disana memang terdapat kawah belerang. 

Tetapi kemudian salah satu pegiat Aleut mengatakan bahwa bau tersebut adalah bau limbah yang mencemari Citarum. Informasi yang cukup mengagetkan buat saya. Saya tidak bisa membayangkan limbah semacam apa dan sebanyak apa yang mampu menghasilkan bau belerang yang sangat menyengat seperti itu.

Lagi-lagi, selalu menyedihkan ketika harus menyaksikan keindahan arus sungai rusak oleh arus modernisasi

http://aleut.wordpress.com/2011/11/01/1231/

0 comments: