Kerajaan Kediri dan Epik kesusastraan. “Tak ada gading yang tak retak” mungkin pepatah itu yang paling tepat
untuk melukiskan cerita Kerajaan. Kahuripan. Kemashuran serta kejayaan
dari kerajaan yang didirikan oleh Airlangga — di tanah Kahuripan atau
Sidoarjo yang kemudian dipinahkan ke Daha atau Dahanapura — itu, konon
mampu menaklukkan dan menguasai hampir semua kerajaan-kerajaan yang ada
disepanjang pulau Jawa, Bali, Sriwijaya dan bahkan sebagaian daerah
Sumatra.
Pun akhirnya harus runtuh dari dalam. (Sebuah pelajaran yang
sangat berharga tentunya buat bangsa ini. Bangsa indonesia yang mashur
dan hampir runtuh karena digerogoti koruptor dari dalam) — Betapa sangat
ironis, kerajaan Kahuripan runtuh bukan karena serangan dari luar. Akan
tetapi justru dari dalam kerajaan itu sendiri.
Semua berawal dari tahun 1042m. Ketika Kerajaan itu di bagi menjadi dua
bagian. Dikarenakan, putra-putra Airlangga yang semuanya sama, minta
tahta. Maka sebagai Orang Tua yang bijak dan sekaligus seorang Raja yang
adil maka dibagilah kerajaan tersebut menjadi dua bagian: Ibu kota
Dahanapura atau Ibukota baru diberikan pada Sri Samarawijaya sedangkan
Ibu Kota lama, Kahuripan yang ada di Sidoharjo diberikan kepada putranya
yang lainnya yakni Mapanji Garasekan. Dan, pada perkembangan
selanjutnya kota praja di Daha tersebut berubah menjadi kerajaan
“Panjalu” adapun Kahuripan atau kota lama yang diberikan pada Mapanji
Garasekan menjadi Kerajaan “Jenggala”.
Menurut Prasasti “Turun Hyang 1044m” semenjak kerajaan tersebut dibagi
menjadi dua bagian, Perang diantara keduanya pun tak terelakkan bahkan
terus berkobar tak pernah putus. Mungkin karena situasi perang itulah,
yang membuat sangat sedikit Prasasti yang tercipta pada tahun-tahun itu
dan tak ditemukan jejak tertulisnya. Konon perang tersebut dipicu oleh
perebutan panji-panji atau simbol Kerajaan yang masih terus digunakan
oleh Mapanji Garasekan. Adalah “Garudha Muka” simbol yang pernah
dipakai Airlangga. Bahkan dalam prasasti Malenga ditahun 1052m yang
dibuat Raja Garasekan Jenggala juga pernah menguasai Panjalu.
Mapanji Alanjung 1052-1059 dan kemudian Sri Samarotsaha — yang berkuasa dari tahun 1059 dan kapan berakhirnya tidak jelas. Suasana Perang yang terus menerus juga membuat Kerajaan Panjalu-red
sama; minimnya akan catatan tertulis. Hanya setelah berselang waktu
beberapa warsa kemudian — Ditemukan prasasti “Sirah Keting yang bertahun
1104m” — yang menjelaskan bahwa: di Panjalu pernah ada Raja bernama Sri
Jayawarsa.
Tapi keterangan ini pun belum bisa dipastikan. Karena tak
ada kesimpulan yang pasti; apakah Jayawarsa adalah anak dari Sri
Samarawijaya atau bukan. Kemudian Setelah Jaya warsa turun Tahta,
Raja-raja berikutnya, baru mulai jelas tertulis dalam berbagai prasasti.
Termasuk ketika ia digantikan oleh putranya Sri Bameswara (hal ini
ditegaskan dalam Prasasti “Pandelengan 1117m” dan “Prasasti Tangkilan
1130m”) disini pun dijelaskan pada masa itu Sri Bameswara memindahkan
pusat kota Dahanapura ke Kediri hinga nama kerajaan Panjalu pun lambat
laun lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri.
Puncak masa kejayaan Kediri adalah ketika Kediri dipimpin oleh putra Sri
Bameswara yakni Sri Jayabaya 1135-1159m yang terkenal dengan “Serat
Jongko Joyoboyo-nya” waktu itu Jayabaya mampu mengalahkan Jenggala dan
bahkan kembali bisa mengalahkan Sriwijaya. Kemenangan Panjalu atas
Jenggala tersebut tertulis dalam Prasasti Ngatan 1135m yang berbunyi
“Panjalu Jayati” yang artinya Panjalu menang. Bahkan Jayabaya meminta
Mpu Sedha untuk menuliskan kiasan atas kisahnya dalam Kakawin
Bharatayhuda — kemenangan Pandawa atas Korawa — Sebagai simbol
kemenangan Panjalu atas Jenggala. Yang diturun dari kitab Mahabarata
dari India.
Dan, kemudian diapun kembali mengutus Mpu Panuluh anaknya
Mpu Sedha untuk melanjutkan Kitab Bharatayhuda — babak selanjutnya —
tersebut dengan memasukkan namanya sebagai salah satu Tokoh keturunan
pandawa yakni “Jayabaya” cucu Parikesit dan kakek Angling Darma.
Sesungguhnya hal peng-Kias-an serupa juga pernah dilakukan oleh
Airlangga pada masa Kahuripan yang dituang dalam kakawin Arjunawiwaha
karangan Mpu Kanwa. kitab ini meng-kias-kan Airlangga sebagai Tokoh
pandawa yaitu Harjuna yang harus melanglang buana sebelum akhirnya
berkuasa menjadi Raja Agung.
Karena memang, pada Jaman Jayabaya ini kesusastraan meningkat sangat
pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya naskah-naskah kuno yang
dilahirkan pada masanya juga masa sebelum dan sesudahnya. Tersebut
antara lain: Hariwangsa dan Gatotkacasraya karya Mpu panuluh.
Samaradhana karya Mpu Darmajha. sumanasantaka karya Mpu Mohanaguna.
kresnayana karya Mpu Trighuna. Kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu
Tanakung Dan masih banyak yang lainnya. Termasuk kitab catatan kronik
Cina yang berjudul Ling-Mai-Tai-Ta, karya Cho-Ku-Fei tahun 1178m. Dan,
kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis Chau-Ju-Khua pada 1225m.
Bahkan dalam berbagai macam kisah, baik yang lisan ataupun tulisan
disebutkan jika Raja Jayabaya juga — konon memeluk agama Islam — setelah
datang utusan dari negri sekitar Jazirah Arab yakni negri Rum. Yang
bernama Maulana Ali Syamsudin. Bahkan ada yang berpendapat jika Kakawin
“Jongko Joyoboyo” adalah karangan “Maolana Ngali sjamsujen” atau
“Maulana ali Syamsudin” yang kitab aslinya adalah Kitab Musarar — yang
kemudian pernah disadur ulang baik oleh Sunan Giri ataupun Ronggo
Warsito.
Adapun daftar para Raja setelah Jayabaya antara lain:
– Sarweswara 1159-1169
– Kameswara 1169-1185
– Kertajaya 1185-1222
pada masa kepemimpinan Kertajaya kerajaan Kediri sangat Lemah. Apalagi,
gara-gara kebijakannya yang tidak relevan yakni menyuruh semua rakyat
juga semua brahmana menyembah dirinya layaknya seorang wisnu dan hal ini
menjadikan sebagian Brahmana tidak lagi menganggap: keputusan Raja
adalah mutlak dan menjadi hukum yang tak bisa di tentang. Para Brahmana
menolak. Bahkan Kertajaya pernah sesumbar waktu hendak diserang pasukan
Ken Arok “kalau dia tak takut sama sekali–selama yang menyerang
negaranya itu masih manusia bukan Syiwa” Makanya disebutkan dalam
Negarakertagama “Ketika Ken Arok Hendak menyerang kediri — atas saran
para Brahmana — ia menamakan dirinya sebagai Syiwa”
Peristiwa penentangan oleh para Brahmana tersebut dibarengi dengan
kejadian, bahwa di Tumapel telah terjadi Kudeta berdarah dan mengukuhkan
Ken Arok Sebagai Akuwu (atau jaman sekarang setara Camat) baru. Dan,
berniat membebaskan Tumapel dari cengraman kekuasaan Kediri. Konon para
Brahmana dari Kediri ini melakukan eksodus dan minta perlindungan pada
Ken Arok. Dan, oleh Ken Arok momen ini dapat di manfaatkan
sebaik-baiknya.
KEN AROK ADALAH RAJA BERDARAH JAWA ASLI
Dalam serat Pararaton diterangkan jika Ken Arok adalah seorang raja asli berdarah Jawa yang notabene berasal dari kasta sudra. Kisah Raja satu ini menjadi simbol sebuah perjuangan besar yang tak
kenal menyerah. Dan, akhirnya membuahkan hasil dimana dirinya bisa
menjadi sebagai Raja Tumapel dan memperistri Ken Dedes istri dari
Tunggul ametung yang dibunuhnya. Dan, dalam kitab pararaton juga
disebutkan jika Ken Arok naik tahta pada tahun 1222m dan bergelar Sri
Rajasah Amurwabumi dengan beribu kota di Kutaraja, (Malang) yang
kemudian dalam perkembangannya lebih dikenal dengan nama Singasari.
—: KUTUKAN DAN DOA :—
Sebenarnya ada cerita menarik dalam kisah naiknya tahta Ken Arok ini. Dan, saya menyebutnya dengan sebutan “Kutukan dan Doa”.
Dimana konon tokoh antagonis Ken Arok ini pernah mendapat kutukan dari
Mpu Gandring, berkaitan dengan keris pesanannya yang belum jadi
itu—justru untuk membunuh si-Mpunya sendiri. Guna menghilangkan jejak
bahwa keris itu — yang nantinya akan digunakan untuk membunuh Tunggul
Ametung tidak ada seorang pun yang akan tahu — jika itu miliknya.
Al-hasil, setelah Ken Arok membunuh Mpu tersebut. Sang Mpu pun
mengeluarkan kutukan “Kelak, bila waktunya tiba — keris tersebut — akan
merenggut 7 keturunannya termasuk juga dirinya.”
Di sisi lain. Juga doa dari orang tua Ken Dedes yakni Mpu Purwa —
seorang resi Bhuda — yang konon sangat mumpuni. Dia meminta agar
anaknya; Ken Dedes supaya kelak dikaruniai anak, dan semua anak yang ia
lahirkan akan menjadi Raja-raja besar di tanah Jawa.
Dan al-hasil, doanya Mpu Purwa pun tercipta juga kutukan Mpu Gandring pada wangsa Rajasa yang tak kalah mengerikan.
Dan, jika akhirnya semua keturunannya saling membunuh, baik untuk alasan
balas dendam ataupun untuk perebutan tahta. Adalah benar keduanya baik
doa Mpu Purwa atau Kutukan Mpu Gandring “sama-sama tercipta”
Bahkan menurut Negarakertagama bahwa Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit pun adalah masih keturunan Ken Dedes.
Lirik lagu wajib dan daerah ;
Daptar lagu lagu daerah indonesia(1)Kegiatan ekstrakulikuler (1)Lagu lagu wajib nasional 1 (1)Lagu lagu wajib nasional 2 (1)Lirik lagu daerah jawa barat 1
kumpulan tips kesehatan;
Mengatasi penyakit batuk (1)Mengatasi sakit gigi (1)Mengobati Keputihan (1)Mengobati sakit mata (1)Obat Tradisional Gatal-gatal (1)Obat Untuk Semua Sakit Perut (1)Penyebab Bisul - Cara Mengobati Bisul (1)Penyebab penyakit sariawan (1)Rumah puisi sdn 2 sukamerang (1)kumpulan tips kesehatan;
0 comments:
Posting Komentar